Sabtu, 24 November 2007

Qurban

Qurban: Ibadah memupuk kebersamaan dan persaudaraan
Oleh: Najib Chaqoqo, S.Pd.I

Selain mengajarkan ibadah yang bersifat pribadi (privat) Islam juga mengandung ajaran yang bersifat social. Ibadah ini lebih berdimensi social, atau bermanfaat untuk orang banyak. Ibadah qurban adalah salah satu wujud pengabdian manusia dalam hal pengeluaran harta yang kita miliki selain zakat. Kalau zakat merupakan ibadah wajib, maka qurban adalah ibadah sunat muakad (mendekati wajib). Keduanya menjadi sangat dianjurkan bagi yang mampu, akan tetapi kalau zakat diukur dengan standard tertentu, akan tetapi kalau qurban hanya bagi yang mampu dengan ukuran minimal.
Mampu dengan ukuran minimal yaitu dengan perhitungan, selama masih ada kelebihan harta diluar harta kebutuhan maka sudah dihitung mampu. Misalnya kalau di sebuah keluarga masih bisa makan, dan di rumah itu masih punya TV atau Kulkas dsb, yang kalau dijual bisa mendapatkan hewan qurban maka sudah dihitung mampu.
Di sinilah letak arti qurban. Selain bermakna pengorbanan manusia kepada Alloh, manusia ditantang kepekaan sosialnya. Sangat banyak dari kita yang suka ngaku-ngaku orang miskin demi mendapatkan konsesi tersendiri, misalnya agar jangan termasuk orang yang harus menyembelih qurban, atau agar tidak termasuk orang yang wajib zakat. Atau parahnya lagi mengaku miskin agar dapat BLT (Bantuan Tunai Langsung/Kompensasi BBM). Maka wajar kalau ancaman Nabi bagi orang yang mampu berqurban tetapi enggan melaksanakan sebagi orang yang haram mendekati tempat sholat.
Qurban pertama kali dilakukan oleh Qobil dan Habil putra kembar Nabi Adam AS Saat itu keduanya memperebutkan seorang wanita. Al kisah, saat itu keudanya lahir dengan kembaran masing –masing perempuan. Qabil lahir kembar laki-laki dan perempuan begitu juga Habil. Suatu ketika Adam memerintahkan keduanya untuk menikah secara silang; Qobil menikahi saudara kembarnya Habil, begitu juga Habil harus menikahi saudara kembar Qobil. (waktu itu manusia baru 6 orang tersebut, jadi belum ada syariat larangan menikahi saudara sendiri). Saudaranya Qobil yang cantik harus dinikahi oleh Habil, sebaliknya saudaranya Habil yang kurang cantik harus dinikahi oleh Qobil. Tentu Qobil menolak ketentuan ini. Ia berdalih bahwa ia lebih berhak atas saudaranya sendiri.
Untuk itulah maka kemudian bapaknya (Nabi Adam), memerintahkan keduanya untuk berkurban. Barang siapa yang korbannya diterima Alloh maka ia berhak atas wanita tersebut. Maka keduanya melakukan qurban. Habil berkurban dengan kambing sementara Qobil hanya berkurban dengan buah-buah yang ternyata sudah hampir busuk. Secara materi sudah menunjukkan siapa yang besar pengorbanannya. Maka tentu saja yang diterima adalah korban kambingnya Habil. Dengan ini Qobil tidak terima, maka terjadilah perkelahian dengan barkahirnya kematian Habil di tangan Qobil.
Demikianlah, korban pertama kali di bumi. Selanjutnya syariat qurban juga turun kepada Nabi Ibrahim, Bapak para Nabi. Tentu yang ini lain ceritanya, dan sudah mafhum diketahui. Tetapi intinya adalah keberanian berkorban untuk Alloh. Seberapa besar pengabdian kita sebagai hamba-Nya.
Daging qurban harus dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya. Inilah dimensi social yang sangat berarti. Kita harus selalu teringat kepada yang miskin dan orang yang masih dalam penderitaan. Maka sholat kita akan sia-sia kalau sampai kita tidak bisa memikirkan kebaikan soaial di tengah masyarakat. Sebagus apapun bentuk sholat kita, namun kalau masih ada rasa ketidakpedulian dengan orang lain dan masih suka menyakiti tetangganya maka sholatnya sia-sia. Tak heran kalau Nabi melarang orang yang mampu qurban tetapi enggan melakukannya agar jangan mendekati tempat sholatnya. Sia-sia alias muspro. Buat apa sholatnya bagus kalau masih suka menjelek-jelekan orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain, dan masih suka hasut terhadap nikmat orang lain.
Begitulah ajaran Islam mengekspresikan bentuk pengorbanan kepada Tuhan. Dalam ajaran agama lain juga ada bentuk pengorbanan kepada tuhan dengan caranya sendiri, seperti ada dalam salah satu ajaran agama Hindu ( di India maupun Bali) yang menyakiti tubuhnya sendiri sebagai bentuk pengorbanan diri kepada tuhannya. Begitu juga dalam agama Kristen, Katolik, Budha, Kong Hucu dan lain-lain.
Tentu dalam hal ini aspek social menjadi sangat penting dalam berkorban. Sejauhmana makna korban bagi kebaikan bersama selain untuk ekspresi pengakuan diri sebagai hamba Tuhan. Tuhan tidak akan rela diberi persembahan korban kalau kemudian persembahan korbanya tidak berdampak kepada masyarakat sekitar. Wallohu a’lam.


Penulis Sekretaris Badan Koordinasi Majelis Ta’lim Al Quran ( BKMTA) Kabupaten Magelang.

Gus Dur

Tahan Berpolitikkah Pondok Pesantren?
Oleh Abdurrahman Wahid*
Dalam apa yang dinamakan ‘Muktamar Sukolilo’ di Surabaya baru-baru ini, kubu Alwi Shihab mengalami permasalahan yang cukup serius. Pertama, KH. Abdullah Faqih dari Pondok Pesantren (Ponpes) Langitan di Tuban, menyatakan siap bertemu penulis kapan saja. Penulis mensyaratkan pertemuan itu harus diselenggarakan di luar ponpes tersebut, karena ‘biang kerok’ persoalan antara beliau dan penulis, terletak pada salah seorang putra beliau yaitu Gus Ubed. Selain itu dalam forum tersebut, KH. Idris Marzuki dan Ponpes Lirboyo mendahului pulang ke Kediri karena kecewa tokoh yang ingin dijadikan Ketua Umum Dewan Tanfidz Saifullah Yusuf tidak bersedia menempati posisi itu, dan malah ‘mengatur’ agar Choirul Anam yang terpilih. Dengan kepulangannya itu, KH. Idris Marzuki dianggap akan menekuni ponpes yang dipimpinnya, dan bukannya aktif dalam kegiatan politik seperti yang dilakukannya dua tahun terakhir ini.
Dari peristiwa-peristiwa itu, muncul pertanyaan tentang ‘ketahanan’ ponpes dalam politik praktis. Pertanyaan itu merupakan bagian dari hubungan ‘tidak wajar’ antara ponpes dengan dunia politik praktis, yang dimulai dari kedekataan antara para pengasuh ponpes dengan para pejabat atau tokoh pemerintahan. Ini tampak jelas, bahwa salah satu pemeo: jika “wakaf” dari orang-orang non-muslim sah-sah saja, apalagi sumbangan dari pejabat yang pada umumnya yang sama sekali ‘tidak mengikat’. Untuk sejumlah ponpes, yang memang para pengasuhnya ‘mengikatkan diri’ dengan para pejabat dan tokoh di atas, mereka lalu tidak memandang penting ‘kebersihan diri’ dari virus politik yang sangat berbahaya itu. Sehingga banyak tokoh-tokoh ponpes yang ‘tergelincir’ secara politis, sehingga tidak dapat mengambil tindakan bagi kepentingan rakyat banyak dan masyarakat pada umumnya.
Hal ini sangat berbeda dengan masa KH. A. Wahab Chasbullah menjadi Ra’is Aam NU dan wakil beliau, KH. Bisri Syansuri. Penulis masih ingat, sewaktu ia masih kecil bagaimana KH. Wahab Chasbullah habis-habisan menentang gagasan Bung Karno untuk membubarkan semua parpol dan tinggal satu partai saja yang boleh berdiri di Indonesia. Begitu juga ketika Bung Karno mempersiapkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, KH. Bisri Syansuri menentang habis-habisan DPR-RI, yang menurut beliau pada waktu itu, adalah hasil pemilihan umum tahun 1955. Kalau harus diganti maka gantinya harus dipilih, dan bukannya ditunjuk oleh Bung Karno. Untuk itu, beliau menghadapi semua tekanan termasuk datangnya tiga orang perwira RPKAD (sekarang Kopassus), dengan bersenjata lengkap dan melakukan intimidasi di ponpes beliau.
Dari dua contoh di atas terlihat bahwa para pimpinan ponpes masa lampau mendasarkan pandangan mereka pada aturan-aturan agama, bukannya pada uang dan sejenisnya. Contoh terkenal dalam hal ini, adalah Ra’is Akbar NU KH. M. Hasjim Asy’ari dari Tebuireng Jombang yang ‘membiarkan diri’ ditangkap Kempetai (polisi rahasia Jepang), karena ia menolak untuk melakukan seikirai (upacara membungkuk badan untuk mendukung Kaisar Jepang). Menurut beliau, hal itu sama saja dengan mengakui bahwa Kaisar Jepang adalah keturunan Dewa Matahari (Amaterasu) sesuatu hal yang tidak akan mungkin dilakukan secara keagamaan bagi seorang muslim, yang hanya mengakui kekuasaan Allah SWT semata-mata. Untuk sikapnya itu, ia harus membiarkan tangan kirinya lumpuh karena siksaaan polisi rahasia Jepang tersebut.
Dengan demikian telah terjadi perubahan kualitatif dari sikap dan pandangan para kyai dari ponpes dalam kurun waktu sekitar setengah abad ini. Hal ini tentu menimbulkan pertanyaan, berapa besarkah perubahan pandangan dan sikap tersebut? Dalam pandangan penulis, ternyata perubahan-perubahan yang terjadi tidaklah besar. Secara kuantitatif, dari sekitar seratus ribu orang kyai yang ada di Indonesia saat ini, ternyata paling tinggi hanya 11 orang yang mengalami perubahan pandangan akibat perkembangan politik. Itupun dapat dibagi dua adanya perubahan pandangan itu.
Ada yang berpandangan, mereka berubah karena faktor uang dan hal-hal yang sejenis, tetapi lebih banyak faktor pandangan ‘politik’ seperti contohnya adalah KH. Abdurrahman Chudlori dari Ponpes Tegalrejo (Magelang) dan KH. Hanif Muslich dari Ponpes Al-Futuhiyah di Mranggen (Demak). Sikap kedua orang itu didasarkan pada pandangan bahwa orang-orang non-muslim tidak dapat menjadi pengurus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Padahal ini dilakukan penulis agar PKB yang ‘campur baur’ menjadi parpol yang besar di kemudian hari. Di sinilah terletak perbedaan antara PKB dan NU. Penulis harus merelakan orang-orang itu berada di luar PKB, yang juga berarti sikap untuk membesarkan NU. Penulis pernah menyatakan, kedua orang itu pantas memimpin NU tetapi tidak pantas mengurusi parpol. Ini tetap menjadi pandangan penulis sampai hari ini. Dua sikap penulis itu adalah untuk menjunjung NU, walaupun dua institusi itu memiliki wajah yang sama sekali berbeda dalam dunia politik. Di sini jelas, alasan bagi perbedaan pandangan itu adalah hasrat membesarkan NU semata-mata.
Perbedaan pandangan yang demikian fundamental antar mereka yang ingin berkiprah dalam NU semata-mata dan mereka yang ingin berkiprah bagi NU melalui PKB, adalah konsekuensi dari pilihan kegiatan yang dilakukan. Dilihat dari sudut pandang ini jelas ponpes menempuh strategi yang saling berbeda, dan melalui bidang yang berbeda-beda pula dalam perjuangan. Kalau dilihat prospeknya, ponpes memiliki kemampuan untuk ‘bermain politik’ melalui wadah yang saling berbeda. Ini berarti hampir seluruh ponpes mampu bermain politik secara dewasa. Hanya sedikit ponpes yang kehilangan kemampuan bermain politik itu, karena faktor uang dan kekuasaan, yang dalam jangka panjang akan membunuh kemampuan ponpes itu.
Politik yang dijalankan mayoritas ponpes seluruh Indonesia adalah mengembangkan sikap ‘melayani kebutuhan’ berbagai pihak di luar dari mereka. Artinya, ‘peranan agama’ dalam penciptaan kemakmuran dan keadilan bagi bangsa dan negara ini ternyata tidak pupus dan bahkan justru menunjuk kepada masa depan yang gemilang. Dengan kata lain, peranan agama dalam dunia perpolitikan di negeri kita tidaklah pudar, bahkan semakin cerah dan nyata di masa depan. Marilah kita songsong era ini dengan membenahi ‘sasaran-sasaran politik’ yang ingin dicapai. Inilah yang sangat menggembirakan bagi penulis, dan menimbulkan harapan akan masa depan yang cerah bagi PKB dan parpol-parpol lain dalam pemilu yang akan datang.
Setelah era politik parpol-parpol yang berebut kekuasaan, disusul oleh kekuasaan kaum profesional dan kemudian tentara/militer selama tigapuluh tahun lebih, kini datanglah era untuk menyaksikan munculnya peranan lembaga-lembaga keagamaan (seperti ulama dan sebagainya). Kalau dari pihak-pihak sebelumnya tidak begitu banyak hasil yang diperoleh, maka bagaimana dengan kepemimpinan ulama yang disimbolkan oleh pengaruh ponpes dalam berpolitik? Dapatkah mereka membawakan kemakmuran dan keadilan bagi bangsa ini, dengan menciptakan masyarakat yang kuat dan negara yang besar? Seperti halnya faktor-faktor lain dalam pembangunan, ponpes juga harus terlibat dengan pelestarian dan pembuangan jauh-jauh beberapa aspek dari kehidupannya. Ini adalah hal yang biasa terjadi dalam sejarah manusia, bukan?
Ciganjur, 5 Oktober 2005

Guru Ngaji

Perjuangan di Jalan Alloh dan kebersamaan

Profil guru ngaji
Sepertinya tak ada orang yang akan bercita-cita menajdi guru ngaji TPQ. Kalaupun ada yang ingin menjadi guru maka yang ada adalah ingin menjadi guru sekolah atau dosen. Ada dua hal yang bisa jadi menjadi penyebabnya. Guru ngaji merupakan kegiatan berjuang lahir dan bathin yang memerlukan pengorbanan materi, waktu dan tempat. Ini berarti butuh kesiapan hati untuk menatanya. Artinya, jika ini bisa disiapkan dengan sungguh-sungguh maka berarti siap menggarap lading perjuangan, berjuang di jalan Alloh, Sabilillah.
Yang kedua, mengapa banyak yang tidak ingin menjadi guru ngaji, sudah barang tentu karena sangat jarang guru ngaji yang digaji oleh pemerintah atau swasta. Kalaupun ada yang dibayar maka itu hanya sebagai pengganti bensin atau keluangan waktunya. Tentu kita tidak lantas mau menuntut gaji dari pemerintah. Karena kalau hal itu yang menjadi tujuan maka akan hilang makna perjuangannya.
Alloh sudah berjanji dalam firmannya, yang artinya kurang lebih” jika engkau menolong (agama) Alloh, niscaya Alloh juga akan menolongmu”.
Tetapi, mungkin kita juga masih bergumam, bukankah guru ngaji juga manusia yang memerlukan kebutuhan hidup? Itulah mengapa kita juga butuh keseimbangan kehidupan di akhirat dan di dunia. Karena dunia adalah lading bagi kehidupan di akhirat kelak.
Oleh karena itulah, di awal sudah kami tulis tentang perlunya menata hati dan pikiran untuk berjuang di jalan Alloh lewat jalur menjadi guru ngaji TPQ. Untuk ini pula mengapa sangat perlu menanamkan tentang kesadaran bahwa ngaji di TPQ bukan persoalan guru ngaji an sich, tetapi adalah persoalan yang yang harus ditangani bersama., dengan keterlibatan banyak pihak. Dinamika perubahan social yang terjadi di tengah masyarakat yang sudah intens terlibat dalam arus komunikasi dan informasi, harus dikawal secara keteat oelh pemahaman yang benar tentang hakikat kehidupan, yang ini hanya bisa dihandle oleh pengertian agama yang benar. Maka peran TPQ sebagai peletak dasar pemahaman keagamaan menjadi sangat strategis. Apalagi jika kita melihat perang ekonomi yang terjadi saat ini, atau yang oelh teman-teman mahasiswa sering disebut dengan kapitaslisme global.
TPQ harus bisa memainkan peran ganda, sebagai pemacu perubahan tetapi juga sekaligus pengerem perubahan itu sendiri. Pemacu perubahan berarti bagaimana mengawal perubahan itu agar bisa ke arah yang lebih baik (minadz dzulumaat, ilan nuur). Sekaligus sebagai pengerem perubahan yang kehilangan kendali.
Mungkin tema ini terlalu muluk-muluk, akan teapi sebagai sebuah idealisme tentu sangat penting sekali. Karena kecendrungan kehidupan akhir-akhir ini mengarah kepada kehidupan yang serba materi. Ukuran yang digunakan banyak orang adalah materi; keberhasilan, kesuksesan, kebahagiaan, keharmonisan dll.
TPQ dan koordinasi antar lembaga
Melihat tantangan yang demikian maka menjadi penting adanya kekuatan bersama. Baik antar guru ngaji sendiri maupun antar lembaga. Kalau di Jogja, maka yang popular adalah lewat Badko TPQ[1]. Sangat penting membangun kebersamaan guna saling memberi dan menerima ( take and give ) berbagai informasi dan kemajuan yang telah dicapai.
Di samping sebagai tempat untuk silaturahmi, pertemuan dan tadarus antar guru ngaji dan antar lembaga akan menjadi spirit tersendiri. Guru ngaji yang kebanyakan menjadi samben dalam pengajarannya akan menjadi lebih bermakna. Apalagi ditunjang dengan standar pencapaian hasil yang ditentukan, baik oelh lembaga maupun oleh pertemuan-pertemuan itu tadi. Karena yang banyak terjadi selama ini adalah kurangnya standar yang diakui bersama oleh masyarakat tentang keberhasilan ngaji bagi anak-anak.
Ini berkaitan dengan materi dan sumber daya manusianya sendiri. Keragaman metode harusnya menjadi kekayaan tersendiri bagi kita. Kita bisa saling membandingkan satu metoda dengan metoda yang lain untuk tujuan mengambil yang terbaik. Saat ini, menurut informasi ada lebih dari 30 metode yang ada di Indonesia. Sedikit menyebut misalnya, Qiroati, Iqro’,

[1] Di tempat kami ( Magelang) yang sudah berjalan adalah membangun kebersamaan lewat Badan Koordinasi Majelis Ta’lim Al Qur’an (BKMTA), di Sleman juga mulai berdiri di beberapa kecamatan; Turi, Tempel, Gamping, Seyegan.

guru masa depan

Guru Masa Depan
Administrator(12/05/04)
Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan.Nama & E-mail (Penulis): isjoni
Saya Dekan di FKIP Universitas Riau Tanggal: 8 Pebruari 2004 Judul Artikel: Guru Masa Depan Topik: Guru Masa Depan
GURU MASA DEPAN Bangsa kita, masyarakat kita, sangat membutuhkan para guru-guru yang mampu mengangkat citra dan marwah pendidikan kita yang terkesan sudah carum marut, dan seperti benang kusut. Sehingga bagaimana harus dimulai, kapan dan siapa yang memulainya, dan dari mana harus dimulai. Kalaulah kita masing-masing menyadari, dan kalaulah kita masih memiliki rasa keperdulian, dan kalaulah kita mau berbagi rasa, dan kalaulah mau kita berteposeliro, maka pendidikan kita seperti disebutkan di atas, akan dapat dianulir. Oleh sebab itu semua kita memiliki satu persepsi, satu langkah dan satu tujuan bagaimana kita berusaha mengangkat "batang terendam" tersebut, menjadi pendidikan bermutu, dan tentunya diharapkan mampu untuk mengangkat peringkat dan citra pendidikan termasuk terendah di Asia. Satu hal yang akan menjadi titik perhatian kita adalah "bagaimana merancang guru masa depan". Guru masa depan adalah guru yang memiliki kemampuan, dan ketrampilan bagaimana dapat menciptakan hasil pembelajaran secara optimal, selanjutnya memiliki kepekaan di dalam membaca tanda-tanda zaman, serta memiliki wawasan intelektual dan berpikiran maju, tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang ada padanya. Bagaimana sebenarnya guru masa depan seperti yang diidamkan oleh banyak pihak, diantaranya adalah:
1. Planner, artinya guru memiliki program kerja pribadi yang jelas, program kerja tersebut tidak hanya berupa program rutin, misalnya menyiapkan seperangkat dokumen pembelajaran seperti Program Semester, Satuan Pelajaran, LKS, dan sebagainya. Akan tetapi guru harus merencanakan bagaimana setiap pembelajaran yang dilakukan berhasil maksimal, dan tentunya apa dan bagaimana rencana yang dilakukan, dan sudah terprogram secara baik;
2. Inovator, artinya memiliki kemauan untuk melakukan pembaharuan dan pembaharuan dimaksud berkenaan dengan pola pembelajaran, termasuk di dalamnya metode mengajar, media pembelajaran, sistem dan alat evaluasi, serta nurturant effect lainnya. Secara individu maupun bersama-sama mampu untuk merubah pola lama, yang selama ini tidak memberikan hasil maksimal, dengan merubah kepada pola baru pembelajaran, maka akan berdampak kepada hasil yang lebih maksimal;
3. Motivator, artinya guru masa depan mampu memiliki motivasi untuk terus belajar dan belajar, dan tentunya juga akan memberikan motivasi kepada anak didik untuk belajar dan terus belajar sebagaimana dicontohkan oleh gurunya;
4. Capable personal, maksudnya guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehinga mampu mengola proses pembelajaran secara efektif;
5. Developer, artinya guru mau untuk terus mengembangkan diri, dan tentunya mau pula menularkan kemampuan dan keterampilan kepada anak didiknya dan untuk semua orang. Guru masa depan haus akan menimba ketrampilan, dan bersikap peka terhadap perkembangan IPTEKS, misalnya mampu dan terampil mendayagunakan komputer, internet, dan berbagai model pembelajaran multi media.
Jadi, guru masa depan adalah guru bertindak sebagai fasilitator; pelindung; pembimbing dan punya figur yang baik (disiplin, loyal, bertanggung jawab, kreatif, melayani sesuai dengan visi, misi yang diinginkan sekolah); termotivasi menyediakan pengalaman belajar bermakna untuk mengalami perubahan belajar berdasarkan keterampilan yang dimiliki siswa dengan berfokus menjadikan kelas yang konduktif secara intelektual fisik dan sosial untuk belajar; menguasai materi, kelas, dan teknologi; punya sikap berciri khas "The Habits for Highly Effective People" dan "Quantum Teaching" serta pendekatan humanis terhadap siswa; Guru menguasai komputer, bahasa, dan psikologi mengajar untuk diterapkan di kelas secara proporsional. Diberlakukan skema rewards dan penegakan disiplin yang humanis terhadap guru dan karyawan. Guru masa depan juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan kemampuan para siswanya melalui pemahaman, keaktifan, pembelajaran sesuai kemajuan zaman dengan mengembangkan keterampilan hidup agar siswa memiliki sikap kemandirian, perilaku adaptif, koperatif, kompetitif dalam menghadapi tantangan, tuntutan kehidupan sehari-hari. Secara efektif menunjukkan motivasi, percaya diri serta mampu mandiri dan dapat bekerja sama. Selain itu guru masa depan juga dapat menumbuhkembangkan sikap, disiplin, bertanggung jawab, memiliki etika moral, dan memiliki sikap kepedulian yang tinggi, dan memupuk kemampuan otodidak anak didik, memberikan reward ataupun apresiasi terhadap siswa agar mereka bangga akan sekolahnya dan terdidik juga untuk mau menghargai orang lain baik pendapat maupun prestasinya. Kerendahan hati juga perlu dipupuk agar tidak terlalu overmotivated sehingga menjadi congkak. Diberikan pelatihan berpikir kritis dan strategi belajar dengan manajemen waktu yang sesuai serta pelatihan cara mengendalikan emosi agar IQ, EQ dan ke dewasaan sosial siswa ber imbang. Selain itu, guru masa depan juga harus memiliki keterampilan dasar pembelajaran, kualifikasi keilmuannya juga optimal, performance di dalam kelas maupun luar kelas tidak diragukan. Tentunya sebagai guru masa depan bangga dengan profesinya, dan akan tetap setia menjunjung tinggi kode etik profesinya. Oleh sebab itu, untuk menjadi guru masa depan diperlukan kualifikasi khusus, dan barangkali tidak akan terlepas dari relung hati dan sanubarinya, bahwa mereka memilih profesi guru sebagai pilihan utama dan pertama. Weternik memberikan dengan istilah rouping atau "pangilan hati nurani". Rouping inilah yang merupakan dasar bagi seseorang guru untuk menyebutkan dirinya sebagai "GURU MASA DEPAN". Semoga.
Saya isjoni setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright).
Sumber : Pendidikan Network
Diedit Najib Chaqoqo

Suudzon

Mengikis suudzonisme[1]

Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita dengar orang berbicara dengan nada pesimis (sinis, negatif, ragu-ragu, minder dll) dan sok tahu. Sikap ini didasari ketidakmauan untuk mencari kejelasan terhadap suatu perkara. Hal ini bahkan terjadi pada diri kita sendiri. Atau ada di antara kita yang suka menghukumi dan menghakimi suatu perkara dengan hanya berdasar pada bukti dan data yang sangat sedikit ( minim). Baru mendengar kabar dari seseorang, langsung dipercaya, dan sudah berani berkomentar macam-macam.
Sikap-sikap seperti ini biasanya muncul karena kita sering terburu-buru berprasangka terhadap suatu perkara yang belum jelas. Atau kalaupun sudah jelas perkara tersebut, kita kurang bijaksana dalam mensikapinya (QS. Yunus 36)[2]. Maka yang muncul kemudian emosi, marah, mau menang sendiri, dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Dengan kata lain, menjadi sok benar sendiri. Sikap menganggap dirinya yang paling benar inilah yang sering jadi penyakit di tengah masyarakat. Sikap menganggap hanya dirinyalah yang paling berpengalaman, paling bisa, paling pinter, paling tinggi derajadnya dan lain sebaginya.
Sikap ini mengingkari kenyataan ( menegasikan) bahwa banyak orang di sekitar kita yang mungkin lebih pinter, lebih berpengalaman, lebih berhak bicara, atau dalam bahasa lain tidak bisa nguwongke (memanusiakan ) orang lain. Sikap nguwongke menjadi barang langka di tengah-tengah kita. Kita lebih enjoy kalau di subyo-subyo, mriyayi dan enggan berkomunikasi secara terbuka. Masih banyak yang lebih suka nacat, mencari-cari kesalahan orang lain dan tidak mau instropeksi diri (muhasabah ).
Begitu luas akibat (implikasi) buruk yang ditimbulkan oleh sikap suudzon atau buruk sangka ini. Orang yang suka suudzon cenderung suka menilai orang lain dengan memperbesar kekurangannya. Maka dicari-carilah kekurangannya. Kelebihan yang tampak pada orang lain selalu ditutup-tutupi, atau kalaupun disebut maka hanya sedikit dengan maksud untuk menjatuhkan. Tak heran jika sikap suudzon ini bisa menjauhkan orang dari sahabat-sahabatnya atau teman-temannya. Orang lain jadi tidak mau mendekat karena takut dinilai kesehariannya atau sifatnya. Kalau sudah tidak ada yang mendekat maka akses apapun akan sulit didapat termasuk akses usaha dan bisnis. Inilah mengapa, suudzon bisa menutup jalan rejeki.
Apalagi kalau sampai suudzon kepada Alloh. Artinya selalu berpransangka yang tidak baik kepada Alloh. Ini ditunjukkan dengan sikap pesimisme, menyerah pada nasib, suka mengeluh dan lain-lain. Hampir tidak ada celah positif dalam hidupnya. Ini menimbulkan persepsi diri yang selalu negatif; pesimis, suka mengeluh, suka nyacat, menilai jelek orang lain, suka mencari-cari kesalahan, gengsi dll.
Mengatasi hal ini tak lain dan tak bukan hanyalah dengan mengubah pola pikir kita dalam menghadapi sesuatu. Kita menyangka baik terhadap orang lain, kalau sangkaan itu salah maka kita tetap dapat pahala kebaikan, tetapi sebaliknya kalau kita suudzon terhadap orang lain, kalau sangkaan buruk itu benar kita tetap berdosa, apalagi kalau sampai sangkaan itu salah. berangkat dari suudzon ini pula kita sering terjatuh ke dalam kubangan Lumpur mnggunjing atau ngrasani jeleknya orang lain. Na’udzubillahi min dzaalik.
TIPS menghindari suudzon (buruk sangka):
1. Perbesar penghargaan pada orang lain; Suka Nguwongke orang lain
2. Mau belajar dari orang lain
3. Perbanyak ilmu; Ilmu agama, social, dsb.
4. Banyak bergaul dengan orang lain
5. Terbuka, tidak suka menyembunyikan sesuatu/ masalah
6. Apa adanya
7. Perbanyak pengalaman
8. Perbanyak kegiatan, jangan suka menganggur. Menganggur adalah sumber masalah.
9. Khusnudzon; baik sangka pada orang lain dan kepada Alloh ( pandai bersyukur).



Seberapa kualitas diri kita
Alloh menyebut kualitas dengan bahasa-bahasa yang sangat indah dalam AL Qur’an; Muttaqiin (orang-orang yang bertaqwa), muhsiniin (orang-orang yang suka membalas dengan lebih baik), Ahsan ( lebih baik), Shoobiriin (orang-orang yang sabar), Syaakiriin (orang yang banyak bersyukur), dll.

Kualitas seseorang bisa diukur dari bicaranya.
Orang berkualitas baik/ tinggi adalah otrang yang bicara pada waktu dan tempat yang tepat, dan sarat dengan hikmah, yaitu mengandung ide, gagasan , ilmu, dzikir, dan solusi yang bermanfaat bagi semua orang. Tentunya tanpai bersikap menggurui orang lain, karena kalau sudah suka menggurui oaring lain maka yang muncul adalah sikap keminter (sok pinter). Jadi dalam berbicara harus proporsional (lihat-lihat).
Orang berkualitas diri biasa-biasa saja mempunyai ciri dari ucapan yang sibuk menceritakan peristiwa-peristiwa yang dia alami atau ketahui. Suka ngrumpi mungkin lebih pasnya. Kalau ngobrol gak mau berhenti ngomongnya. Ngalor-ngidul selalu ada yang dibicarakan meskipun kurang bermanfaat.
Sedangkan orang berkualitas rendahan dalam berkata-kata yaitu suka membawa permasalahan ke manapun dia berada, yaitu suka mengeluh, mencela atau menghina. Termaasuk di dalamnya suka mencari-cari kesalahan dan kekurangan orang lain. Suka mengeluh adalah ciri orang yang kurang bisa bersyukur atas nikmat 4jjl.
(dikutip dari Taushiyah Aa’ Gym)
Ada makalah ‘ulama yang mengatakan bahwa sebagian besar orang terjerumus ke dalam dosa disebabkan karena lisannya. Di sekitar kita dan bahkan diri kita sendiri masih sulit mengendalikannya. Kita lebih suka nyacat daripada memberi penghargaan. Masih suka mencari-cari negatifnya daripada mencari sisi positifnya.

TIPS menghindari suudzon (buruk sangka):
10. Perbesar penghargaan pada orang lain; Suka Nguwongke orang lain
11. Mau belajar dari orang lain
12. Perbanyak ilmu; Ilmu agama, social, dsb.
13. Banyak bergaul dengan orang lain
14. Terbuka, tidak suka menyembunyikan sesuatu/ masalah
15. Apa adanya
16. Perbanyak pengalaman
17. Perbanyak kegiatan, jangan suka menganggur. Menganggur adalah sumber masalah.
18. Khusnudzon; baik sangka pada orang lain dan kepada Alloh ( pandai bersyukur).

[1] Oleh Najib Chaqoqo, Sekretaris Badan Koordinasi Majelis Ta’lim Al Qur’an (BKMTA) Kab. Magelang (Telp. 0293- 5508115) dan ketua Badko TPQ Kec. Salam. Dalam Dialog Remaja, KKN UAD di Moyudan Sleman, 14 Peb ’07.
[2]Artinya: “ Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran[690]. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”

Menggunjing

Bahaya menggunjing


Menggunjing, atau dalam bahasa jawa sering disebut dengan, ngrasani, ngglendhengi, yaitu membicarakan kejelekan orang lain ketika orang yang dibicarkan tidak ada. Hal ini banyak terjadi di sekitar kita. Ketika kita berkumpul maka akan sangat enak sekali kalau topik obrolan adalah membicarakan orang lain, atau yang popular dengan kata - kata menggosip. Dalam “acara” menggosip ini sangat rentan sekali untuk terjerumus dalam wilayanh menggunjing, karena akan ada usaha untuk memojokkan atau menjatuhkan orang lain. Maka tak heran kalau kemudian acara infoteinment di TV diharamkan.
Ketika membicarakan tentang orang lain, maka biasanya orang tersebut tidak mau dikatakan sedang menggjunjing, atau ngglendheng. Orang itu akan mengatakan;” ini ndak menggunjing lho, saya Cuma ngomong apa adanya” atau “aku nggak bermaksud menjelek-jelekkan loh, aku kan Cuma mau memberitahu kamu aja, kalo si anu itu begini-begitu”. Begitulah dalih orang yang membicarakan orang lain. Dan masih banyak laigi kata-kata untuk mengelak agar tidak dikatakan menggunjing orang lain.
Menghindari untuk tidak menggunjing orang lain memang sangat sulit. Karena topik untuk menggosip tidak akan pernah habis. Dari satu sifat yang digunjingkan akan merembet ke sifat yang lain, atau dari satu orang merembet ke orang-orang terdekatnya. Begitulah, menggunjing menjadi topik yang hangat untuk didengarkan.
Menggunjing berawal dari sikap suudzon yang berlebihan. Suudzon adalah sikap berburuk sangka terhadap orang lain. Sikap ini berangkat dari sikap meremehkan, merendahkan, atau kecurigaan yang besar. Sikap meremehkan membawa kita kapada sikap tidak menghargai orang lain. Ini sama dengan merendahkan orang lain. Sedangkan sikap kecurigaan yang besar berawal dari keengganan memahami orang lain serta tidak mau mencari kejelasan tentang suatu masalah. Atau kita hanya mendengar suatu masalah dari satu pihak tanpa mau mencari kejelasan dari orang lain atau dalam istilah kerennya tidak ada tabayyun dan cross check/ konfirasi.
Orang dengan tipe suka menggunjing ini biasanya hanya berani membicarakan orang lain di belakang. Tidak berani berterus terang. Di depan bermanis-manis muka tetapi menikam dari belakang. Ketika berhadapan dengan seseorang secara langsung tidak mau berterus terang, tetapi begitu orang itu pergi segera di cari-cari kekurangannya. Bukankah tidak ada orang yang sempurna? No bodies perfect.
Bahaya dari sifat menggunjing ini bagi orang yang digunjing adalah reputasinya ( nama baiknya) turun dan terpojok tanpa bisa membela diri. Padahal belum tentu orang yang dibicarakan tersebut bermaksud seperti yang diomongkan, mungkin saja orang yang berbuat keliru itu khilaf atau lupa. Dan bisa jadi yang menjelek-jelekkan atau menggunjing tidak lebih baik dari orang yang dijelek-jelekkan tersebut. Ini semua berangkat dari kurangnya penghargaan (apresiasi ) dan pengakuan terhadap orang lain. Sifat menghargai orang lain menjadi barang yang mahal di masyarakat kita. Yang ada adalah sifat sombong dan gengsi gede-gedean.
Maka benar kalau Allah mengumpamakan menggunjing orang lain adalah bagaikan membakar kayu. Cepat menghanguskan dan meluluh lantakkan barang yang dibakar. Gunjingan akan mengalir dan menggelinding terus bahkan ketika orang yang digunjing tersebut sudah bertobat dan berhenti untuk berbuat jelek. Ini akan sulit sekali untuk mengubah pikiran (persepsi atau image) orang yang sudah terlanjur termakan oleh isu gunjingan tersebut. Orang menjadi mudah mengecap orang ini begini dan begitu dengan gunjingan. Mudah sekali membingkai seseorang dengan bingkai atau frame yang tidak baik.
Allah juga mengumpamakan orang yang suka menggunjing ini dengan istilah suka memakan bangkai. Menyerang seseorang ketika orang itu tidak ada adalah sama dengan memakan bangkai ( menjijikkan ). Ya, karena sesuatu yang mati tidak akan membalas ketika kita cabik-cabik. Ini kemudian bisa disebut dengan tidak jantan, beraninya di belakang. Mungkin inilah yang sering dituduhkan oleh orang non-Jawa yang menyebut bahwa orang jawa itu kalau di depan tampak bermuka manis, tetapi di belakang suka pating glenik, grenengan dewe, dengan ngenjepi, memelototi, memmbicarakan jeleknya. Bagaikan falsafah blangkon , yang dari depan tampak bagus dan sopan tetapi mbendhol di belakang serta baju jawa yang tampak bagus dari depan tetapi menyimpan keris di punggungnya, siap ditikamkan kepada orang lain.
Maka sejajar dengan sifat ini adalah sifat suka mencari-cari kekurangan orang lain, mudah curiga, tidak mau menghargai, menerapkan standar yang terlalu rendah terhadap orang lain, meremehkan dan merendahkan dan sederet sifat-sifat yang tidak baik yang berhubungan dalam hal pergaulan dengan orang lain. Sanggupkah kita mengurangi sifat ini? Hanya proses dan waktu yang bisa menentukannya.
Pulosari, 31 Maret 2006

Untuk rubrik halaman belakang.
Ada pertanyaan menarik untuk edisi yang lalu, “apa maksudnya bahwa sombong itu pakaian Alloh SWT?”.
Jawab:
Bahwa hanya Alloh yang berhak memakai pakaian kesombongan. Alloh memiliki sifat yang salah satunya tersebut dalam asmaul khusna; “Al Mutakabbiru “ yang arti tekstualnya adalah “Yang Maha Sombong”. Kenapa yang maha? Karena hanya Alloh saja yang berhak sombong. Artinya manusia tidak berhak memakainya. Kalau manusia sebagai hambanya berbuat sombong maka dengan kata lain dia mempertuhankan dirinya sendiri. Di sinilah letak dosa besarnya.
Banyak orang melakukan kesombongan ini dalam berbagai bentuknya. Mulai pamer materi sampai yang non materi. Pamer materi jelas, di mana seseorang melakukan kesombongan dengan menghambur-hamburkan uangnya di tengah-tengah orang miskin dan kekurangan. Semsntara masih banyak orang yang belum bisa teratur makan nasi, tetapi orang yang sombong keluar masuk gerai rumah makan mewah; KFC, Mc D, belanja pakaian mahal dan lain sebagainya.
Berlagak sok pintar, sok tahu dan lain sebaginya adalah juga sikap sombong. Tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, suka mencemooh, dan selalu memandang rendah orang adalah sifat-sifat orang yang sombong.
Nabi SAW pernah mengatakan bahwa, tidak akan masuk sorga orang yang dalam hatinya masih menyimpan kesombongan meskipun hanya sekecil tepung bahkan yang lebih kecil lagi. Begitu beratnya dosa orang yang sombong. Itu tadi, karena mempertuhankan dirinya sendiri. Na’udzubillah.

Sombong menurut Imam Ghozali adalah melihat dirinya lebih mulia lebih berpangkat daripada orang lain dan dilahirkan dalam kata-kata, misalnya karena nasab, harta, jabatan, stautus social, pendidikan, stautus ekonomi, status jenis kelamin, bentuk tubuh, pakaian, dll. Kalau tidak dilahirkan dalam kata-kata dan hanya dalam hati maka namanya ‘ujub ( narcis ), dan ini tetap berdosa.
Sebalknya melihat dirinya lebih hina ( Tadzallul ) terhadap orang lain juga tidak baik, ini berarti rendah diri. Padahal yang dianjurkan oleh Alloh yaitu tengah-tengahnya yaitu rendah hati (tawadlu’; wadl’u syai in min qodrihi alladzi yastahiqquhu= menempatkan / memposisikan sesuatu sesuai kadar yang seharusnya)
Ini berarti berpura-pura ( sok ) bodoh, pura-pura ( sok ) melarat, pura-pura ( sok ) kaya, pura-pura menderita dan kepura-puraan yang lain juga dilarang. Karena dengan demikian berarti tidak apa adanya.

Tips menghindari kesombongan:
jika melihat anak kecil/ lebih muda maka berkatalah dalam hati: dia belum punya dosa, sedangkan aku sudah banyak dosa.
jika melihat orang yang lebih tua, maka berkatalah dalam hati, orang ini sudah beribadah lebih lama daripada aku. Berarti pahalanya sudah lebih banyak daripada aku.
jika melihat orang yang lebih ‘alim ( luas ilmunya ) maka berkatalah dalam hati, dia lebih tahu dan mengerti daripada aku, bagaimana aku bisa seperti dia?
Jika melihat orang tua yang bodoh atau kurang berilmu, maka berkatalah dalam hati, orang ini berbuat dosa karena ketidak tahuannya, sedangkan aku sering berbuat dosa padahal aku mengetahui kalau itu dosa. Bisa jadi orang ini akan khusnul khotimah ( baik di pengakhirannya/ akhir hayatnya ).
jika melihat orang kafir (non muslim) berkatalah dalam hati,”aku tidak tahu masa depannya, bisa jadi orang ini dikasih hidayah oleh Alloh dan menjadi Islam dan amal akhir hayatnya diterima Alloh, sedangkan aku belum tentu bisa diterima Alloh ( na’udzu billah ).
( sumber: keterangan dari buku Maroqiyul ‘ubudiyyah syarah bidayatul hidayah)

Indonesia dan Islam Indonesia

Isalm Indonesia mengalami nasib yang tragis dengan persepsi yang keliru dari masyarakat Islam sendiri. Orang Indonesia akan lebih senang dengan produk luar negeri. dan ini melanda semua hal yang akhirnya merembet kepada anggapan bahwa Islam Indonesia bukanlah Islam yang sebenarnya. apakah Islam yang sebenarnya hanya datang Arab?