Sabtu, 24 November 2007

Qurban

Qurban: Ibadah memupuk kebersamaan dan persaudaraan
Oleh: Najib Chaqoqo, S.Pd.I

Selain mengajarkan ibadah yang bersifat pribadi (privat) Islam juga mengandung ajaran yang bersifat social. Ibadah ini lebih berdimensi social, atau bermanfaat untuk orang banyak. Ibadah qurban adalah salah satu wujud pengabdian manusia dalam hal pengeluaran harta yang kita miliki selain zakat. Kalau zakat merupakan ibadah wajib, maka qurban adalah ibadah sunat muakad (mendekati wajib). Keduanya menjadi sangat dianjurkan bagi yang mampu, akan tetapi kalau zakat diukur dengan standard tertentu, akan tetapi kalau qurban hanya bagi yang mampu dengan ukuran minimal.
Mampu dengan ukuran minimal yaitu dengan perhitungan, selama masih ada kelebihan harta diluar harta kebutuhan maka sudah dihitung mampu. Misalnya kalau di sebuah keluarga masih bisa makan, dan di rumah itu masih punya TV atau Kulkas dsb, yang kalau dijual bisa mendapatkan hewan qurban maka sudah dihitung mampu.
Di sinilah letak arti qurban. Selain bermakna pengorbanan manusia kepada Alloh, manusia ditantang kepekaan sosialnya. Sangat banyak dari kita yang suka ngaku-ngaku orang miskin demi mendapatkan konsesi tersendiri, misalnya agar jangan termasuk orang yang harus menyembelih qurban, atau agar tidak termasuk orang yang wajib zakat. Atau parahnya lagi mengaku miskin agar dapat BLT (Bantuan Tunai Langsung/Kompensasi BBM). Maka wajar kalau ancaman Nabi bagi orang yang mampu berqurban tetapi enggan melaksanakan sebagi orang yang haram mendekati tempat sholat.
Qurban pertama kali dilakukan oleh Qobil dan Habil putra kembar Nabi Adam AS Saat itu keduanya memperebutkan seorang wanita. Al kisah, saat itu keudanya lahir dengan kembaran masing –masing perempuan. Qabil lahir kembar laki-laki dan perempuan begitu juga Habil. Suatu ketika Adam memerintahkan keduanya untuk menikah secara silang; Qobil menikahi saudara kembarnya Habil, begitu juga Habil harus menikahi saudara kembar Qobil. (waktu itu manusia baru 6 orang tersebut, jadi belum ada syariat larangan menikahi saudara sendiri). Saudaranya Qobil yang cantik harus dinikahi oleh Habil, sebaliknya saudaranya Habil yang kurang cantik harus dinikahi oleh Qobil. Tentu Qobil menolak ketentuan ini. Ia berdalih bahwa ia lebih berhak atas saudaranya sendiri.
Untuk itulah maka kemudian bapaknya (Nabi Adam), memerintahkan keduanya untuk berkurban. Barang siapa yang korbannya diterima Alloh maka ia berhak atas wanita tersebut. Maka keduanya melakukan qurban. Habil berkurban dengan kambing sementara Qobil hanya berkurban dengan buah-buah yang ternyata sudah hampir busuk. Secara materi sudah menunjukkan siapa yang besar pengorbanannya. Maka tentu saja yang diterima adalah korban kambingnya Habil. Dengan ini Qobil tidak terima, maka terjadilah perkelahian dengan barkahirnya kematian Habil di tangan Qobil.
Demikianlah, korban pertama kali di bumi. Selanjutnya syariat qurban juga turun kepada Nabi Ibrahim, Bapak para Nabi. Tentu yang ini lain ceritanya, dan sudah mafhum diketahui. Tetapi intinya adalah keberanian berkorban untuk Alloh. Seberapa besar pengabdian kita sebagai hamba-Nya.
Daging qurban harus dibagikan kepada orang yang berhak menerimanya. Inilah dimensi social yang sangat berarti. Kita harus selalu teringat kepada yang miskin dan orang yang masih dalam penderitaan. Maka sholat kita akan sia-sia kalau sampai kita tidak bisa memikirkan kebaikan soaial di tengah masyarakat. Sebagus apapun bentuk sholat kita, namun kalau masih ada rasa ketidakpedulian dengan orang lain dan masih suka menyakiti tetangganya maka sholatnya sia-sia. Tak heran kalau Nabi melarang orang yang mampu qurban tetapi enggan melakukannya agar jangan mendekati tempat sholatnya. Sia-sia alias muspro. Buat apa sholatnya bagus kalau masih suka menjelek-jelekan orang lain, mencari-cari kesalahan orang lain, dan masih suka hasut terhadap nikmat orang lain.
Begitulah ajaran Islam mengekspresikan bentuk pengorbanan kepada Tuhan. Dalam ajaran agama lain juga ada bentuk pengorbanan kepada tuhan dengan caranya sendiri, seperti ada dalam salah satu ajaran agama Hindu ( di India maupun Bali) yang menyakiti tubuhnya sendiri sebagai bentuk pengorbanan diri kepada tuhannya. Begitu juga dalam agama Kristen, Katolik, Budha, Kong Hucu dan lain-lain.
Tentu dalam hal ini aspek social menjadi sangat penting dalam berkorban. Sejauhmana makna korban bagi kebaikan bersama selain untuk ekspresi pengakuan diri sebagai hamba Tuhan. Tuhan tidak akan rela diberi persembahan korban kalau kemudian persembahan korbanya tidak berdampak kepada masyarakat sekitar. Wallohu a’lam.


Penulis Sekretaris Badan Koordinasi Majelis Ta’lim Al Quran ( BKMTA) Kabupaten Magelang.

Tidak ada komentar: