Sabtu, 24 November 2007

Menggunjing

Bahaya menggunjing


Menggunjing, atau dalam bahasa jawa sering disebut dengan, ngrasani, ngglendhengi, yaitu membicarakan kejelekan orang lain ketika orang yang dibicarkan tidak ada. Hal ini banyak terjadi di sekitar kita. Ketika kita berkumpul maka akan sangat enak sekali kalau topik obrolan adalah membicarakan orang lain, atau yang popular dengan kata - kata menggosip. Dalam “acara” menggosip ini sangat rentan sekali untuk terjerumus dalam wilayanh menggunjing, karena akan ada usaha untuk memojokkan atau menjatuhkan orang lain. Maka tak heran kalau kemudian acara infoteinment di TV diharamkan.
Ketika membicarakan tentang orang lain, maka biasanya orang tersebut tidak mau dikatakan sedang menggjunjing, atau ngglendheng. Orang itu akan mengatakan;” ini ndak menggunjing lho, saya Cuma ngomong apa adanya” atau “aku nggak bermaksud menjelek-jelekkan loh, aku kan Cuma mau memberitahu kamu aja, kalo si anu itu begini-begitu”. Begitulah dalih orang yang membicarakan orang lain. Dan masih banyak laigi kata-kata untuk mengelak agar tidak dikatakan menggunjing orang lain.
Menghindari untuk tidak menggunjing orang lain memang sangat sulit. Karena topik untuk menggosip tidak akan pernah habis. Dari satu sifat yang digunjingkan akan merembet ke sifat yang lain, atau dari satu orang merembet ke orang-orang terdekatnya. Begitulah, menggunjing menjadi topik yang hangat untuk didengarkan.
Menggunjing berawal dari sikap suudzon yang berlebihan. Suudzon adalah sikap berburuk sangka terhadap orang lain. Sikap ini berangkat dari sikap meremehkan, merendahkan, atau kecurigaan yang besar. Sikap meremehkan membawa kita kapada sikap tidak menghargai orang lain. Ini sama dengan merendahkan orang lain. Sedangkan sikap kecurigaan yang besar berawal dari keengganan memahami orang lain serta tidak mau mencari kejelasan tentang suatu masalah. Atau kita hanya mendengar suatu masalah dari satu pihak tanpa mau mencari kejelasan dari orang lain atau dalam istilah kerennya tidak ada tabayyun dan cross check/ konfirasi.
Orang dengan tipe suka menggunjing ini biasanya hanya berani membicarakan orang lain di belakang. Tidak berani berterus terang. Di depan bermanis-manis muka tetapi menikam dari belakang. Ketika berhadapan dengan seseorang secara langsung tidak mau berterus terang, tetapi begitu orang itu pergi segera di cari-cari kekurangannya. Bukankah tidak ada orang yang sempurna? No bodies perfect.
Bahaya dari sifat menggunjing ini bagi orang yang digunjing adalah reputasinya ( nama baiknya) turun dan terpojok tanpa bisa membela diri. Padahal belum tentu orang yang dibicarakan tersebut bermaksud seperti yang diomongkan, mungkin saja orang yang berbuat keliru itu khilaf atau lupa. Dan bisa jadi yang menjelek-jelekkan atau menggunjing tidak lebih baik dari orang yang dijelek-jelekkan tersebut. Ini semua berangkat dari kurangnya penghargaan (apresiasi ) dan pengakuan terhadap orang lain. Sifat menghargai orang lain menjadi barang yang mahal di masyarakat kita. Yang ada adalah sifat sombong dan gengsi gede-gedean.
Maka benar kalau Allah mengumpamakan menggunjing orang lain adalah bagaikan membakar kayu. Cepat menghanguskan dan meluluh lantakkan barang yang dibakar. Gunjingan akan mengalir dan menggelinding terus bahkan ketika orang yang digunjing tersebut sudah bertobat dan berhenti untuk berbuat jelek. Ini akan sulit sekali untuk mengubah pikiran (persepsi atau image) orang yang sudah terlanjur termakan oleh isu gunjingan tersebut. Orang menjadi mudah mengecap orang ini begini dan begitu dengan gunjingan. Mudah sekali membingkai seseorang dengan bingkai atau frame yang tidak baik.
Allah juga mengumpamakan orang yang suka menggunjing ini dengan istilah suka memakan bangkai. Menyerang seseorang ketika orang itu tidak ada adalah sama dengan memakan bangkai ( menjijikkan ). Ya, karena sesuatu yang mati tidak akan membalas ketika kita cabik-cabik. Ini kemudian bisa disebut dengan tidak jantan, beraninya di belakang. Mungkin inilah yang sering dituduhkan oleh orang non-Jawa yang menyebut bahwa orang jawa itu kalau di depan tampak bermuka manis, tetapi di belakang suka pating glenik, grenengan dewe, dengan ngenjepi, memelototi, memmbicarakan jeleknya. Bagaikan falsafah blangkon , yang dari depan tampak bagus dan sopan tetapi mbendhol di belakang serta baju jawa yang tampak bagus dari depan tetapi menyimpan keris di punggungnya, siap ditikamkan kepada orang lain.
Maka sejajar dengan sifat ini adalah sifat suka mencari-cari kekurangan orang lain, mudah curiga, tidak mau menghargai, menerapkan standar yang terlalu rendah terhadap orang lain, meremehkan dan merendahkan dan sederet sifat-sifat yang tidak baik yang berhubungan dalam hal pergaulan dengan orang lain. Sanggupkah kita mengurangi sifat ini? Hanya proses dan waktu yang bisa menentukannya.
Pulosari, 31 Maret 2006

Untuk rubrik halaman belakang.
Ada pertanyaan menarik untuk edisi yang lalu, “apa maksudnya bahwa sombong itu pakaian Alloh SWT?”.
Jawab:
Bahwa hanya Alloh yang berhak memakai pakaian kesombongan. Alloh memiliki sifat yang salah satunya tersebut dalam asmaul khusna; “Al Mutakabbiru “ yang arti tekstualnya adalah “Yang Maha Sombong”. Kenapa yang maha? Karena hanya Alloh saja yang berhak sombong. Artinya manusia tidak berhak memakainya. Kalau manusia sebagai hambanya berbuat sombong maka dengan kata lain dia mempertuhankan dirinya sendiri. Di sinilah letak dosa besarnya.
Banyak orang melakukan kesombongan ini dalam berbagai bentuknya. Mulai pamer materi sampai yang non materi. Pamer materi jelas, di mana seseorang melakukan kesombongan dengan menghambur-hamburkan uangnya di tengah-tengah orang miskin dan kekurangan. Semsntara masih banyak orang yang belum bisa teratur makan nasi, tetapi orang yang sombong keluar masuk gerai rumah makan mewah; KFC, Mc D, belanja pakaian mahal dan lain sebagainya.
Berlagak sok pintar, sok tahu dan lain sebaginya adalah juga sikap sombong. Tidak mau mendengarkan pendapat orang lain, suka mencemooh, dan selalu memandang rendah orang adalah sifat-sifat orang yang sombong.
Nabi SAW pernah mengatakan bahwa, tidak akan masuk sorga orang yang dalam hatinya masih menyimpan kesombongan meskipun hanya sekecil tepung bahkan yang lebih kecil lagi. Begitu beratnya dosa orang yang sombong. Itu tadi, karena mempertuhankan dirinya sendiri. Na’udzubillah.

Sombong menurut Imam Ghozali adalah melihat dirinya lebih mulia lebih berpangkat daripada orang lain dan dilahirkan dalam kata-kata, misalnya karena nasab, harta, jabatan, stautus social, pendidikan, stautus ekonomi, status jenis kelamin, bentuk tubuh, pakaian, dll. Kalau tidak dilahirkan dalam kata-kata dan hanya dalam hati maka namanya ‘ujub ( narcis ), dan ini tetap berdosa.
Sebalknya melihat dirinya lebih hina ( Tadzallul ) terhadap orang lain juga tidak baik, ini berarti rendah diri. Padahal yang dianjurkan oleh Alloh yaitu tengah-tengahnya yaitu rendah hati (tawadlu’; wadl’u syai in min qodrihi alladzi yastahiqquhu= menempatkan / memposisikan sesuatu sesuai kadar yang seharusnya)
Ini berarti berpura-pura ( sok ) bodoh, pura-pura ( sok ) melarat, pura-pura ( sok ) kaya, pura-pura menderita dan kepura-puraan yang lain juga dilarang. Karena dengan demikian berarti tidak apa adanya.

Tips menghindari kesombongan:
jika melihat anak kecil/ lebih muda maka berkatalah dalam hati: dia belum punya dosa, sedangkan aku sudah banyak dosa.
jika melihat orang yang lebih tua, maka berkatalah dalam hati, orang ini sudah beribadah lebih lama daripada aku. Berarti pahalanya sudah lebih banyak daripada aku.
jika melihat orang yang lebih ‘alim ( luas ilmunya ) maka berkatalah dalam hati, dia lebih tahu dan mengerti daripada aku, bagaimana aku bisa seperti dia?
Jika melihat orang tua yang bodoh atau kurang berilmu, maka berkatalah dalam hati, orang ini berbuat dosa karena ketidak tahuannya, sedangkan aku sering berbuat dosa padahal aku mengetahui kalau itu dosa. Bisa jadi orang ini akan khusnul khotimah ( baik di pengakhirannya/ akhir hayatnya ).
jika melihat orang kafir (non muslim) berkatalah dalam hati,”aku tidak tahu masa depannya, bisa jadi orang ini dikasih hidayah oleh Alloh dan menjadi Islam dan amal akhir hayatnya diterima Alloh, sedangkan aku belum tentu bisa diterima Alloh ( na’udzu billah ).
( sumber: keterangan dari buku Maroqiyul ‘ubudiyyah syarah bidayatul hidayah)

Tidak ada komentar: